Proses pembuatan film Guru Bangsa Haji Oemar Said Tjokroaminoto memakan waktu 2,5 tahun. Sekitar 1,5 tahun dihabiskan untuk meriset sosok Tjokroaminoto lantaran referensi tentang sang guru bangsa itu sangat terbatas. Banyak karyanya yang justru tersimpan di luar negeri.
Produser film Dewi Umaya Rachman mengaku harus mengejar informasi tentang HOS Tjokroaminoto hingga ke Belanda. "Kami harus mencari sampai ke Leiden dan bertanya kepada orang-orang yang mengenal beliau secara personal," kata Dewi kepada Tempo seusai jumpa pers film Guru Bangsa HOSTjokroaminoto di Rumah HOS Tjokroaminoto Jalan Peneleh VII, Surabaya, Kamis 5 Maret 2015.
Sosok HOS Tjokroaminoto tidak banyak dikenal, tetapi menjadi guru bagi tokoh-tokoh pergerakan menjelang kemerdekaan Indonesia. Menurut dia, tawaran membuat film Tjokroaminoto datang dari keluarga dan cucu-cucu pahlawan nasional itu. Mendapat tawaran tersebut Dewi dan Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe Letto di bawah naungan rumah produksi Pic[k]ock Productions setuju mengangkat kisahnya.
Hanya saja, pembuat film kesulitan mencari referensi. Apalagi HOS Tjokroaminoto bukanlah orang yang suka menulis jurnal. Karya-karya tulisnya lebih banyak tercantum dalam surat kabar ataupun buku.
Berdasarkan referensi yang ada, Dewi dan tim akhirnya menentukan sudut pandang film ini. Dipilihlah kisah HOS Tjokroaminoto mulai lahir sampai 1912. Karena di usia itulah, De Ongekroonde van Java atau Raja Jawa Tanpa Mahkota ini mengajarkan pemikiran-pemikiran ideologisnya kepada Soekarno, Semaoen, Alimin, Muso, Kartosoewirjo bahkan Tan Malaka, termasuk mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya bernama Serikat Dagang Islam.
Kesulitan lain yang juga dirasakan adalah mencari setting kota tahun 1900-an. Meski di tahun itu HOS Tjokroaminoto tinggal di Surabaya, tetapi syuting tidak dilakukan di kota tersebut. Seluruh proses syuting justru di lahan kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan membangun studio yang seluruh kondisinya sama persis dengan suasana ketika itu. "Bangunan, kota, setting, termasuk rumah dan Hotel Orange seperti di Surabaya," ujar Dewi.
Noe Letto menambahkan generasi muda saat ini lebih banyak mengenal sejarah dari sosok yang populer. Tetapi tidak banyak yang tahu tentang siapa yang berada di belakang mereka, termasuk dalam kasus HOS Tjokroaminoto. "Kita biasa mengenal sejarah dari Soekarno misalnya. Padahal bibitnya dari Eyang Tjokro," ujar anak seniman Emha Ainun Nadjib ini.
Christine Hakim aktris yang juga menjadi produser film ini mengatakan film sejarah bukan hanya sekedar napak tilas, tapi merekonstruksi skenario Tuhan. "Karena yang direkonstruksi adalah kehidupan nyata dari hamba Allah yang sudah diamanahkan," ujarnya.
Nayaka Untara, cicit HOS Tjokroaminoto, mengaku puas dengan film itu. Keluarga pun cukup banyak terlibat dalam proses pembuatan. Termasuk melakukan riset ke Belanda dan Australia, tempat karya-karya HOS Tjokroaminoto banyak disimpan.
Ia berharap film ini bisa menularkan semangat kebangsaan yang dimiliki sang kakek dan menjadi referensi bagi generasi muda untuk mengenal HOS Tjokroaminoto. Menurut dia, keluarga akan membuat kumpulan referensi dari semua karya dan tulisan HOS Tjokroaminoto.
Sosok HOS Tjokroaminoto tidak banyak dikenal, tetapi menjadi guru bagi tokoh-tokoh pergerakan menjelang kemerdekaan Indonesia. Menurut dia, tawaran membuat film Tjokroaminoto datang dari keluarga dan cucu-cucu pahlawan nasional itu. Mendapat tawaran tersebut Dewi dan Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe Letto di bawah naungan rumah produksi Pic[k]ock Productions setuju mengangkat kisahnya.
Hanya saja, pembuat film kesulitan mencari referensi. Apalagi HOS Tjokroaminoto bukanlah orang yang suka menulis jurnal. Karya-karya tulisnya lebih banyak tercantum dalam surat kabar ataupun buku.
Berdasarkan referensi yang ada, Dewi dan tim akhirnya menentukan sudut pandang film ini. Dipilihlah kisah HOS Tjokroaminoto mulai lahir sampai 1912. Karena di usia itulah, De Ongekroonde van Java atau Raja Jawa Tanpa Mahkota ini mengajarkan pemikiran-pemikiran ideologisnya kepada Soekarno, Semaoen, Alimin, Muso, Kartosoewirjo bahkan Tan Malaka, termasuk mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya bernama Serikat Dagang Islam.
Kesulitan lain yang juga dirasakan adalah mencari setting kota tahun 1900-an. Meski di tahun itu HOS Tjokroaminoto tinggal di Surabaya, tetapi syuting tidak dilakukan di kota tersebut. Seluruh proses syuting justru di lahan kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan membangun studio yang seluruh kondisinya sama persis dengan suasana ketika itu. "Bangunan, kota, setting, termasuk rumah dan Hotel Orange seperti di Surabaya," ujar Dewi.
Noe Letto menambahkan generasi muda saat ini lebih banyak mengenal sejarah dari sosok yang populer. Tetapi tidak banyak yang tahu tentang siapa yang berada di belakang mereka, termasuk dalam kasus HOS Tjokroaminoto. "Kita biasa mengenal sejarah dari Soekarno misalnya. Padahal bibitnya dari Eyang Tjokro," ujar anak seniman Emha Ainun Nadjib ini.
Christine Hakim aktris yang juga menjadi produser film ini mengatakan film sejarah bukan hanya sekedar napak tilas, tapi merekonstruksi skenario Tuhan. "Karena yang direkonstruksi adalah kehidupan nyata dari hamba Allah yang sudah diamanahkan," ujarnya.
Nayaka Untara, cicit HOS Tjokroaminoto, mengaku puas dengan film itu. Keluarga pun cukup banyak terlibat dalam proses pembuatan. Termasuk melakukan riset ke Belanda dan Australia, tempat karya-karya HOS Tjokroaminoto banyak disimpan.
Ia berharap film ini bisa menularkan semangat kebangsaan yang dimiliki sang kakek dan menjadi referensi bagi generasi muda untuk mengenal HOS Tjokroaminoto. Menurut dia, keluarga akan membuat kumpulan referensi dari semua karya dan tulisan HOS Tjokroaminoto.
No comments:
Post a Comment