Poker Online Indonesia - Misteri keraton Ratu Boko Candi
Tepatkah ia disebut candi? Bukankah ia keraton atau istana? Siapakah yang membangunnya? Siapa saja yang pernah menghuninya? Berapa generasi atau dinasti, dan berapa lama?Kapan persisnya ia dibangun? Siapa arsiteknya dan dari mana asal konsep atau desain konstruksinya? Bagaimana caranya penguasa waktu itu membangunnya? Berapa banyak pekerja yang dikerahkan? Dari mana dan bagaimana mereka menyiapkan bahan-bahan bangunannya? Siapa yang membiayai semuanya?
Semua orang pasti akan berpendapat bahwa Ratu Boko bukan merupakan candi tetapi sebuah istana. Paling tidak, inilah fungsi awalnya dan setelah beberapa waktu berubah fungsi. Fungsi istana (keraton) bagi penyandang mahkota kerajaan dengan sendirinya berbeda dengan candi bagi para jemaah agama Budha atau Hindu. Tim pelaksana ekskavasi Ratu Boko tahun 1973 (Teguh Asmar MA, bersama Dr Bennet Bronson dari museum University of Pennsylvania) berpendapat, situs ini adalah bekas keraton, namun pendapat ini diberi predikat 'sementara'.
Sudah cukup lama pendapat para ahli di Indonesia dan mancanegara terbagi. Sebagian menganggap Ratu Boko berfungsi sebagai istana raja. Sebagian lagi menyebutnya rumah ibadat atau kuil. Diduga Ratu Boko mencontoh vihara di Srilanka yang dihuni oleh para pemuja Budha. Dugaan ini bersumber dari prasasti yang ditemukan di situs itu bertarikh 792. Namun, pendapat-pendapat para ahli berdasarkan pernyataan-pernyataan pada sejumlah prasasti kuno yang ditulis dalam bahasa Sansekerta itu tidak cukup definitif, sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan perbedaan ini menimbulkan ketidakpastian.
Keberadaan bangunan Ratu Boko baru diketahui petugas pemerintah jajahan Hindia Belanda pada tahun 1790. Berarti 57 tahun setelah penemuan Candi Prambanan dilaporkan pada tahun 1733. Berikutnya, baru pada tahun 1814, 24 tahun setelah beredar berita tentang penemuan Ratu Boko, penguasa jajahan Inggris Stamford Raffles menerima laporan penemuan Candi Borobudur. Padahal, secara fisik Borobudur jauh lebih besar dan megah dibandingkan dengan Candi Prambanan dan Ratu Boko.
Ketiga bangunan monumental itu ditemukan dalam kondisi praktis rusak, tertutup pepohonan dan semak belukar. Dari perspektif saat ini, rasanya tidak masuk akal para penguasa dahulu sekian lama tidak mengetahui keberadaan monumen-monumen itu. Kecuali jika kita mau percaya, kawasan di sekitar bangunan bersejarah itu cukup lama menjadi daerah-tak-bertuan, yaitu kosong penduduk atau ditinggalkan oleh mereka karena suatu alasan. Atau, setelah puluhan kali berlangsung peralihan generasi secara alami, penduduk setempat tidak mengacuhkan lagi peninggalan tua itu, apalagi kondisinya rusak berat dan terbengkalai. Belum lagi faktor hubungan dari satu tempat ke tempat lain yang sulit dan memakan waktu. Juga faktor pergeseran kepercayaan penduduk.
Asal-usul Ratu Boko harus dilihat dalam konteks sitem religi dan sistem kekuasaan masa itu, yang merupakan awal berdirinya kerajaan mataram di bawah Dinasti Sanjaya dan Syailendra, sebelum era pemerintahan Muslim Mataram. Latar belakang, kedudukan dan peran situs ini berhubungan dengan pembangunan candi-candi di kawasan ini dan Jawa Tengah umumnya. Dalam konteks waktu, babak sejarah ini barangkali meliputi masa dua setengah sampai tiga abad.
Dari segi keagamaan, Ratu Boko yang dibangun 18 km ke arah Yogyakarta mewakili aliran kepercayaan sama dengan Candi Borobudur yang terletak di Kabupaten Magelang, sekitar 41 km dari Yogyakarta. Keduanya termasuk situs Budha yang dibangun oleh rezim penganut aliran Budha Mahayana. Keduanya didiikan, menurut sebagian pakar, sekitar menjelang akhir abad ke-8. Berbeda dengan Candi Prambanan yang dibangun pada abad berikutnya dan terletak hanya 2-3 km dari Ratu Boko, tetapi merupakan kuil Hindu.
Ada pendapat bahwa Prasasti Ratu Boko (yang ditemukan dalam kondisi rusak parah) dibuat tahun 778, karena mempunyai ciri-ciri seperti Prasasti Kalasan tahun 778 (J.G. de Casparis, 1956). Disebut pula bahwa kedua prasasti tersebut dibuat atas perintah raja yang sama. Mengenai nama raja yang bersangkutan para ahli berbeda pendapat, karena berbeda menafsirkan prasasti-prasasti. Menurut Prasasti Kedu (Prasasti Raja Balitung tahun 907 M), pada tahun 778 bertahta raja Mataram bernama Rakai Panangkaran, pembangun Candi Kalasan. Jadi, jika penafsiran Casparin benar, pendiri Ratu Boko adalah Rakai Panangkaran yang juga bergelar Sri Maharaja. Lalu, apakah raja ini berdiam di Ratu Boko? Kalau tidak, siapa penghuninya? Belum ada jawaban pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan ini.
Sebagian raja-raja Mataram melakukan praktik memindahkan pusat atau ibukota kerajaan. Antara lain karena bencana alam dahsyat seperti gunung meletus dan gempa bumi atau karena perebutan kekuasaan yang berlanjut dengan peperangan. Ini berakibat satu istana atau keraton kerajaan, bisa ditinggalkan kosong, terbengkalai atau beralih fungsi.
Arsitektur dan Konstruksi
Ratu Boko terletak di areal dataran setinggi 196 m diatas permukaan laut. Luas situs mencapai 250.000 m2. Dari lokasi ini terlihat lembah luas dikelilingi pegunungan. Dari posisi sebelah utara dataran ke arah barat tampak menjulang Gunung Merapi yang mengeluarkan asap tebal. Dari sebelah timur dataran terlihat gugusan Gunung Kidul. Di kawasan lembah berdiri rumah-rumah dan sejumlah pabrik. Sungguh suatu pemandangan yang indah!
Karena belum dilakukan restorasi secara tuntas sejak mulai diteliti oleh ahli-ahli Belanda pada tahun 1938, pengunjung Ratu Boko tidak akan bisa memvisualisasi bentuk dan wajah megah dan kebesaran situs ini. Kecuali gapura depan dan candi-candi kecil dekat kolam di pekarangan belakang.
Pada bagian depan (situs barat) terdapat gapura-gapura besar terbuat dari batu, masing-masing sebagai gerbang masuk ke pelataran bertingkat tiga. Di depan situs barat ini terdapat lapangan terbuka yang cukup luas. Berikutnya adalah pelataran pertama berbentuk teras seluas 3.240 m2. Memasuki pelataran kedua, berdiri gapura pertama terdiri dari tiga pintu masuk, pintu tengah lebih lebar dari kedua pintu samping. Memasuki pelataran ketiga, terdapat gapura kedua berjumlah lima pintu masuk, juga pintu tengah lebih lebar dari pintu di sisi kiri dan kanan. Pada pelataran ketiga dan paling atas ini terdapat batur-batur bangunan, di atas areal seluas 27.000 m2. Batur Paseban Barat, berukuran 12 x 16 m sedangkan batur Paseban Timur berukuran 15 x 25 m. Tidak diketahui apa fungsi bangunan depan ini.
136 m dari batur Paseban ke arah tenggara terdapat batur Pendopo berukuran 20 x 21 m (420 m2) dan batur Pringgitan berukuran 6 x 21 m (126 m2). Pendopo berfungsi sebagai tempat pertemuan atau ruang resepsi. Bandingkan dengan ruangan terbesar di Istana Merdeka Jakarta seluas 300 m2, lebih kecil dari pendopo utama Ratu Boko. Seluruh areal Ratu Boko mencapai luas 16 hektar. Istana Merdeka (bagian depan) bersama Istana Negara (belakang) Jakarta, yang dibangun tahun 1873 hingga 1879 oleh Belanda, meliputi areal seluas 15 hektar.
Di sebelah tenggara Ratu Boko masih terdapat beberapa batur lagi, diantaranya batur Bale berukuran 7 x 36,5 m dan dua batur lain, yang terkecil berukuran 4 x 3 m diduga tempat air untuk mengisi dua tempat pemandian di bawahnya yang dipagari dinding. 70 m dari batur Bale terdapat pula batur Keputren terdiri dari dua bangunan terpisah yang dikelilingi tembok. Selain itu, terdapat tempat pembakaran mayat sebesar 23 x 23 m dan dua bangunan gua yang berfungsi sebagai tempat semedi.
Batur-batur tersebut adalah fondasi bagi bangunan yang terbuat dari kayu, yang kini punah. Berdasarkan informasi pada prasasti yang ditemukan di situs ini, Ratu Boko adalah tempat tinggal orang-orang penting di masa itu, termasuk raja dan keluarganya. Struktur bangunan, terutama saluran-saluran air dan pagar-agar dinding, diduga merupakan bentuk pengamanan tradisional terhadap ancaman serangan dari luar.
Dapat dipastikan bahwa konstruksi Ratu Boko mencerminkan strategi kaum penguasa di kawasan pedalaman dan pegunungan menangkal upaya merebut kekuasaan di antara sesamanya dan dengan kelompok kekuatan maritim di kawasan pantai yang menguasai perdagangan seputar Asia Tenggara sampai ke kawasan Asia lainnya ke arah utara (Cina) dan barat (India, Arab, Afrika). Praktik perebutan kekuasaan dengan kekerasan tentu berlaku pula di kawasan Asia lainnya.
Di sisi lain, interaksi lintas batas melahirkan persamaan dalam konstruksi dan estetika bangunan batu sebagai ekspresi kepercayaan yang mencerminkan pertalian agama pada kurun waktu itu. Bentuk tempat-tempat ibadat dan simbol-simbol pemujaan seperti struktur teras tanah dan tangga, lantai serta atap atau kanopi bangunan yang berwujud piramid sebagai ekspresi metafisik, pola stupa-stupa atau pagoda dan relief atau lukisan pada lempengan-lempengan batu, nyaris identik dalam masyarakat penganut agama Budha dan Hindu di seputar Asia.
Para peneliti Barat berpendapat, di luar persamaan lintas bangsa yang terdapat pada situs-situs religi tersebut, arsitektur Jawa memiliki ciri-ciri tersendiri, bahkan keaslian konsepsi. Sebagai bukti utama disebut Candi Borobudur. Tetapi, berbeda dengan candi-candi yang masing-masing menampilkan bentuk utuh, dalam hal situs Ratu Boko kita hanya bisa membayangkan bagaimana konkritnya espresi agama, budaya dan seni para pendirinya di atas batur-batur yang tersisa dan batu-batu yang kini berserakan, sambil suatu saat menanti para ahli mampu menyelesaikan restorasinya. Barangkali kelak setidaknya bisa dibuat satu bentuk sketsa atau bagan keseluruhan situs secara utuh.
Tinggal stu pertanyaan:siapa yang membiayai pembangunan Ratu Boko? Hal ini sampai sekarang juga belum diperoleh kejelasan. Di antara prasasti-prasasti yang ditemukan di situs ini, terdapat prasasti dengan lempengan emas dan perak. Ini bisa menjadi isyarat bahwa rezim masa itu memiliki kemampuan ekonomi cukup untuk membangun sebuah istana atau candi. Barbagai pembangunan di masa itu bersumber dari hasil pertanian, perdagangan (termasuk perdagangan dengan kerajaan dari luar negeri), pajak dan upeti, yang ditopang jaringan penguasa-penguasa kecil di berbagai wilayah kekuasaan raja. Hasil-hasil kegiatan ekonomi itu pula yang tentunya mendukung anggaran rutin raja dan keluarga serta kerabat dinasti, para pejabat, prajurit, pengawal, pendeta, tamu-tamu. Tentu tidak dapat dinafikan peran rakyat dalam berbagai bentuk, sebagai produsen hasil-hasil pertanian, buruh pertambangan, pengrajin, pemahat batu dan pekerja bangunan. Berbagai biaya pembangunan kerajaan di masa itu, menurt para peneliti, niscaya sangat membebani rakyat (J.C. van Leur, 1960).
No comments:
Post a Comment